Pertanyaan :
Jika Anda Mengatakan Semua Perkara yang Tidak Ada di Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah Bid’ah Maka Pengeras Suara yang Anda Gunakan untuk Kajian Juga Bid’ah ?
Jawaban :
Jawaban masalah ini sebenarnya simpel/sederhana, namun perlu
kami jelaskan bahwa penanya belum paham apa yang dimaksud dengan bid’ah
dan ibadah. Oleh karena itu kami akan jelaskan dua hal tersebut secara
ringkas.
Pertama, Bid’ah/perkara baru yang dimaksudkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
إِيَّاكُمْ وَالأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru karena sesungguhnya semua bid’ah adalah sesat”[1].
Maka yang dimaksud perkara-perkara baru (لأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ) dan bid’ah (بِدْعَةٍ) dalam hadits di atas adalah perkara baru dalam urusan agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia.
Karena perkara-perkara baru dalam masalah dunia jika perkara tersebut
bermanfaat maka padanya kebaikan demikian juga jika perkara tersebut
terdapat bahaya maka perkara tersebut adalah perkara yang buruk. Akan
tetapi jika perkara yang baru tersebut adalah perkara dalam agama maka
seluruhnya buruk karena itulah Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan dalam lanjutan haditsnya,
Demikian juga dijelaskan dalam hadits yang lain bahwa bid’ah yang
terlarang adalah bid’ah dalam masalah agama bukan bid’ah dalam masalah
dunia sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”[4].
Hadits ini juga memiliki lafadz hadits lain yang disebutkan Ibnu Rojab dalam kitabnya,
مَنْ أَحْدَثَ فِى دِيْنِنَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengadakan suatu hal yang baru dalam masalah agama kami maka perkara tersebut tertolak/tidak diterima”[5].
Dengan dua penjelasan di atas maka jelaslah bagi kita
sejelas-jelasnya bahwa perkara baru yang tercela dan sesat adalah
perkara baru dalam urusan agama.
Kedua, Ketahuilah, para ulama menjadikan
perkara ibadah menjadi dua macam. Macam pertama adalah ibadah yang murni
ibadah (ibadah mahdhoh). Ibadah yang satu ini harus melalui wahyu,
tanpa wahyu seseorang tidak mungkin mengamalkannya. Contohnya adalah
shalat, puasa, dan dzikir. Ibadah jenis pertama ini tidak boleh
seseorang membuat kreasi baru di dalamnya. Sedangkan macam kedua adalah
ibadah bukan murni ibadah (ghoiru mahdhoh). Macam
kedua ini, asalnya adalah perkara mubah atau perkara dunia. Namun karena
diniatkan untuk ibadah, maka bernilai pahala. Seperti berdagang, jika
diniatkan ikhlas karena Allah untuk menghidupi keluarga, bukan
semata-mata untuk cari penghidupan, maka nantinya bernilai pahala.[6]
Jika pengertian ini telah kita pahamai maka akan mudah kita bagi kita untuk memahami bahwa penggunaan microphone
dalam pengajian, adzan dan lain-lain bukanlah termasuk bid’ah dalam
istilah syari’at. Namun hanya berupa bid’ah secara bahasa yang berarti
perkara yang baru dalam masalah dunia dan hal ini tidaklah termasuk
dalam hadits tentang larangan berbuat bid’ah.
Kemudian kita tambahkan bahwa penggunaan microphone dalam
pengajian, adzan dan lain-lain padanya ada manfaat yang jelas dan
syari’at kita menjelaskan bahwa Allah mensyari’atkan seluruh perkara
yang manfaat. Lebih lanjut kita katakana bahwa penggunaan microphone
dalam pengajian, adzan dan lain-lain memiliki asal/dalil dalam syari’at
karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam memerintahkan ‘Abbas bin Abdil Mutholib rodhiyallahu ‘anhu untuk berteriak memanggil orang-orang yang berbai’at kepada Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam yang persitwa ini dikenal sebagai bai’atul ridwan sebagaimana dicamtumkan Al Imam Muslim rohimahullah dalam kitab Shohihnya,
فَقَالَ عَبَّاسٌ وَكَانَ رَجُلاً صَيِّتًا فَقُلْتُ بِأَعْلَى صَوْتِى أَيْنَ أَصْحَابُ السَّمُرَةِ
Maka ‘Abbas memanggil dengan suara yang keras –yang mana beliau adalah orang yang suaranya keras-, “Aku katakana dengan suara yang keras, “Mana Ashabul Samuroh (orang-orang yang berbai’at kepada Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam yang persitwa ini dikenal sebagai bai’atul ridwan) ?”[7]
Demikian juga yang terjadi pada sahabat Abu Bakar dan Abu Tholhah rodhiyallahu ‘anhuma.
Jadi pada masalah penggunaan microphone dalam pengajian, adzan dan
lain-lain memiliki asal/dalil baik itu berupa jenis perbuatannya dan
keumummannya yaitu padanya manfaat yang nyata[8].Allahu a’lam.
[1] HR. Ibnu Majah no. 44, Ahmad no. 17184, Ad Darimi no. 96, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullah. [2] Idem.
[3] Lihat Syarh Al ‘Arba’in An Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 303, terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[4] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.
[5] Lihat Jami’ul Ulum wal Hikaam oleh Ibnu Rojab Al Hambali rohimahullah hal. hal. 174 dengan tahqiq oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrohim Al Bajas terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[6] Lihat pembahasan dalam kitab Tahdzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz Al Jibrin, hal. 39-40, Maktabah Al Mulk Fahd, cetakan pertama.
[7] HR. Muslim no. 76.
[8] Lihat Mandzumah Ushul Fiqh wa Qowaidihi oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rohimahullah hal. 40-41, terbitan Dar Ibnul Jauziy. Riyadh,KSA.
Sumber : www.alhijroh.com
0 komentar:
Posting Komentar