Batalkah Puasa Karena Melakukan Maksiat ?
Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.
Mungkin pernah terbersik di hati kita atau dipikiran kita, ‘apakah maksiat seperti ghibah, namimah membatalkan puasa ?’ Atau pertanyaan dalam bentuk lain, ‘mengapa maksiat semisal berbohong, berjudi, ghibah, namimah, korupsi tidak membatalkan puasa ?’
Maka pada kesempatan kali ini kita akan jelaskan sebagaimana apa yang disebutkan para ulama.
Ibnu Rojab Al Hambaliy Rohimahullah mengatakan,
و اعلم أنه لا يتم التقرب إلى الله تعالى بترك هذه الشهوات المباحة في غير حالة الصيام إلا بعد التقرب إليه بترك ما حرم الله في كل حال من الكذب و الظلم و العدوان على الناس في دمائهم و أموالهم و أعراضهم و لهذا قال النبي صلى الله عليه و سلم : [ من لم يدع قول الزور و العمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه و شرابه ] خرجه البخاري و في حديث آخر : [ ليس الصيام من الطعام و الشراب إنما الصيام من اللغو و الرفث ] و قال الحافظ أبو موسى المديني : على شرط مسلم
‘Ketahuilah bahwasanya tidak akan sempurna pendekatan diri kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan syahwat yang mubah ini (makan dan minum –ed.) dalam keadaan tidak berpuasa kecuali setelah mendekatkan diri kepada-Nya dengan meninggalkan hal yang Allah haramkan pada setiap keadaan, semisal berbohong, berbuat dzolim dan membuat permusuhan kepada orang lain yang berhubungan dengan darah, harta dan kehormatan kaum muslimin. Oleh karena itulah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak dapat meninggalkan perkataan zuur (perkataan dusta) atau mengamalkannya maka Allah tidak butuh rasa lapar dan dahaganya”[1].
Dalam hadits yang lain disebutkan,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ
“Bukan lah yang dimaksudkan dari puasa itu menahan diri dari makan dan minum semata, melainkan lebih dari itu yaitu menahan diri perkataan sia-sia dan kotor”[2].
Al Hafidz Abu Musa Al Madiniy mengatakan, ‘Hadits ini sesuai syarat Muslim’.
قال بعض السلف : أهون الصيام ترك الشراب و الطعام و قال جابر : إذا صمت فليصم سمعك و بصرك و لسانك عن الكذب و المحارم و دع أذى الجار و ليكن عليك وقار و سكينة يوم صومك و لا تجعل يوم صومك و يوم فطرك سواء
و قال النبي صلى الله عليه و سلم : [ رب صائم حظه من صيامه الجوع و العطش و رب قائم حظه من قيامه السهر ] و سر هذا : أن التقرب إلى الله تعالى بترك المباحات لا يكمل إلا بعد التقرب إليه بترك المحرمات فمن ارتكب المحرمات ثم تقرب إلى الله تعالى بترك المباحات كان بمثابة من يترك الفرائض و يتقرب بالنوافل و إن كان صومه مجزئا عند الجمهور بحيث لا يؤمر بإعادته لأن العمل إنما يبطل بارتكاب ما نهي عنه فيه لخصوصه دون ارتكاب ما نهي عنه لغير معنى يختص به هذا هو أصل جمهور العلماء
“Sebagian salaf mengatakan, ‘Puasa yang paling ringan adalah dengan meninggalkan minum dan makan’. Jabir mengatakan, ‘Jika anda berpuasa maka tahanlah pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta dan hal yang diharamkan. Tinggalkanlah mengganggu tetangga, jadilah orang yang lemah lembut dan tenang pada saat anda puasa. Janganlah jadikan saat-saat puasamu dan saat-saat tidak puasa menjadi dua hal yang sama’. Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,“Betapa banyak orang yang berpuasa namun yang ia dapatkan hanyalah lapar dan haus semata. Dan betapa banyak orang yang qiyamul lail/sholat malam namun yang ia dapatkan hanyalah tidak tidur semalaman/bergadang”.Hikmah/rahasia dari hal ini adalah pendekatan diri kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang mubah di selain Romadhon tidaklah sempurna melainkan hingga mendekatkan diri kepada-Nya dengan meninggalkan hal-hal yang Allah haramkan. Maka barangsiapa yang tetap melakukan hal yang Allah haramkan lalu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala denan meninggalkan hal-hal yang mubah mirip dengan orang yang meninggalkan hal yang wajib dan mengerkajan amalan yang hukumnya sunnah. Walaupun mayoritas ulama berpendapatan puasanya sah dalam artian tidak diperintahkan untuk mengulanginya/mengqodhonya. Karena amalan puasa hanya batal jika orang yang melaksanakannya melakukan hal-hal yang dilarang secara khusus pada ibadah tersebut (puasa), bukanlah semata-mata batal karena melakukan hal-hal yang dilarang pada keadaan khusus ini (puasa) dan pada keadaan umum (selain ketika puasa). Inilah dalil/dasar jumhur ulama’[3].
Namun hal ini bukanlah berarti legalisasi para ulama bagi orang yang tetap bermaksi’at pada saat berpuasa. Kita katakan, tidak sekali tidak.
Allahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar