Kamis, 23 Juni 2016

Belajar Tentang Makna Ikhlas

Posted By: Abu Azka Al Ghuraba - 00.00

Share

& Comment

Belajar Tentang Makna Ikhlas
 
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
 
Ikhlas. Mudah untuk diucapkan, namun butuh banyak hal untuk bisa diwujudkan. Diantara faktor utama untuk bisa ikhlas tentu saja adalah dengan taufik dan pertolongan Allah. Tanpa pertolongan-Nya maka sedikit pun ikhlas tak akan pernah menghampiri.
 
Di samping itu, ikhlas jelas membutuhkan ilmu. Ilmu tentang ikhlas itu sendiri. Betapa banyak orang yang menduga dirinya ikhlas namun ternyata tidak ikhlas. Ilmu tentang ikhlas dipetik dari firman Allah, dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga dengan menelaah ucapan para ulama.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, menjadi orang yang ikhlas adalah cita-cita dan dambaan setiap muslim.
 
Setiap muslim dan muslimah tentu tak ingin menjadi orang yang bergelimang dengan syirik dan kekafiran. Tidak ingin dirinya celaka bersama para penghuni neraka. Tidak ingin merugi hidupnya di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, mengenal hakikat ikhlas dan jalan-jalan menuju kesana adalah perkara yang sangat penting baginya.
 
Namun, sebagaimana dikatakan dalam pepatah, bahwa ‘perahu tidaklah berlayar di atas daratan’. Ya, karena perahu berlayar di atas lautan. Ini artinya, mengharapkan keselamatan dan kebahagiaan tentu menuntut orang agar menempuh jalan dan cara yang benar untuk menggapainya.
 
Bukan semata angan-angan dan slogan kosong tanpa makna! Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.”
 
Demikian pula ikhlas. Ikhlas juga tidak bisa diraih hanya dengan mengumbar slogan, memasang spanduk, menempel stiker, mengumpulkan bantuan, menyebar pamflet, menulis artikel, atau berceramah dari mimbar ke mimbar. Ikhlas tidak bisa dibeli dengan angka-angka sedekah dan tumpukan-tumpukan jabatan. Ikhlas tidak bisa dicuri dan dirampas dengan senjata api, senjata berat, ataupun rudal sekalipun. Karena ikhlas itu bersemayam di dalam hati, hidup bersama hidupnya hati.
 
Sebagaimana perkataan seorang ulama yang sangat populer, “Sesungguhnya surgaku ada di dalam dadaku…” Sebagian mereka juga mengatakan, “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya niscaya dia tidak akan memasuki surga di akhirat.” Ketenangan hidup, ketentraman, kebahagiaan, bersama dengan ikhlas dan ketulusan. Tanpa ikhlas, segala kemewahan dan perhiasan dunia hanya akan menjadi petaka pada hari kebangkitan… Pada hari tiada berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang-orang yang menghadap kepada Allah dengan hati yang selamat…
 
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, pada masa-masa semacam ini -yang penuh dengan berbagai bentuk kerusakan dan kerancuan- kebutuhan kita kepada ikhlas pun semakin besar untuk bisa kita wujudkan. Jauh lebih besar daripada kebutuhan kita kepada makanan dan minuman, bahkan lebih besar daripada kebutuhan kita kepada air dan udara. Sebab lenyapnya keikhlasan merupakan malapetaka yang menandai kematian hati seorang hamba, tercabutnya kebahagiaan, dan kegagalan berkelanjutan.
 
Berbicara tentang ikhlas adalah berbicara tentang pokok agama islam. Berbicara tentang ikhlas adalah berbicara tentang kunci keselamatan. Berbicara tentang ikhlas adalah berbicara tentang sumber kebahagiaan hidup dan kejayaan. Oleh sebab itu, para ulama kita selalu mengingatkan tentangnya, memperingatkan akan bahaya-bahaya yang bisa merusak dan mencabut keikhlasan dari dasar-dasarnya. Pantaslah bagi kita semua, untuk haus akan wejangan, nasihat, dan bimbingan mereka dalam upaya merealisasikan ikhlas di dalam diri kita. Karena kita memang sangat membutuhkannya.
 
Ayat-Ayat Tentang Ikhlas
 
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan bagi-Nya agama -amalan- dengan hanif/menjauhi syirik, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah : 5)
 
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisaa’ : 36)
 
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih, dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)
 
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama yang murni itu merupakan hak Allah.” (QS. az-Zumar: 2-3)
 
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14)
 
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah Yang Maha Hidup, tiada sesembahan -yang benar- selain Dia, maka sembahlah Dia dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Ghafir: 65)
 
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).
 
Hadits-Hadits Tentang Ikhlas
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan sentuhan api neraka kepada orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Itban radhiyallahu’anhu)
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati atau dirinya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)
 
Penjelasan Ulama Tentang Ikhlas
 
Di dalam bukunya yang sudah sangat masyhur, yaitu Riyadhush Shalihin, Imam an-Nawawi rahimahullah membuat sebuah bab di awal kitabnya dengan judul :
Bab. Ikhlas dan Menghadirkan Niat Dalam Seluruh Perbuatan, Ucapan, dan Keadaan; Baik Yang Tampak/Jelas Maupun Yang Tersembunyi/Samar.
 
Kemudian, diantara ayat yang beliau bawakan adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan untuk-Nya agama [amalan] dengan cara yang hanif/menjauhi syirik…” (QS. Al-Bayyinah : 5)
 
Demikian pula, firman Allah (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya ataupun darah-darahnya. Akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. Al-Hajj : 37)
 
Allah juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian menyembunyikan apa-apa yang ada di dalam dada kalian, atau kalian menampakkannya maka Allah pasti mengetahuinya.” (QS. Ali ‘Imran : 29)
 
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah di dalam Ahkam Min al-Qur’an al-Karim menerangkan, bahwa dari ayat ‘Iyyaka na’budu’ -hanya kepada-Mu kami beribadah- yang ada di dalam surat al-Fatihah, di dalamnya terkandung nilai keikhlasan dalam beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla (lihat Ahkam, hal. 23)
 
Syaikh as-Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya menerangkan, bahwa di dalam kalimat ‘Iyyaka na’budu’ terkandung pemurnian/keikhlasan dalam beragama yaitu mengikhlaskan ibadah dan isti’anah/memohon pertolongan kepada Allah semata (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40)
 
Di dalamnya kitabnya, at-Taudhih wal Bayan li Syajarah al-Iman, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Bahwa seluruh amalan dan ucapan hanya akan menjadi benar dan sempurna selaras dengan iman dan ikhlas yang ada di dalam hati pelakunya.” (lihat buku tersebut, hal. 73)
 
Diantara dalil yang beliau sebutkan adalah kedua ayat di bawah ini :
 
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu.” (QS. Az-Zumar : 65)
 
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka melakukan syirik pastilah akan terhapus segala amal yang pernah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam : 88)
 
Bahkan, puncak keimanan yaitu ucapan laa ilaha illallah tidaklah bermanfaat jika tidak dibarengi dengan keikhlasan. Sebagaimana telah disinggung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Sesungguhnya Allah haramkan neraka untuk menyentuh orang yang mengucapkan laa ilaha illallah demi mengharapkan wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)
 
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa maksud dari ungkapan ‘mengharap wajah Allah’ adalah dia mengucapkan syahadat itu dengan penuh keikhlasan kepada-Nya, bukan karena riya’, sum’ah, atau pun kemunafikan (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 97)
 
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar kecuali dengan dua syarat; ikhlas kepada Allah ‘azza wa jalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalam I’anatul Mustafid (Jilid 1, hal. 60-61)
 
Beliau juga memaparkan, bahwasanya kedua syarat ini merupakan kandungan dari kedua kalimat syahadat. Syahadat laa ilaha illallah bermakna kita harus mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah. Syahadat Muhammad rasulullah bermakna kita harus mengikuti tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1, hal. 61)
 
Oleh sebab itu kita juga mengenal bahwasanya para ulama menyebut kalimat tauhid laa ilaha illallah dengan istilah kalimatul ikhlas. Karena di dalam kalimat tauhid ini terkandung ajaran untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata, dan mencampakkan segala peribadatan kepada selain-Nya.
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kalimat -syahadat- ini memiliki nama-nama lain, diantaranya ia disebut dengan kalimatul ikhlas. Karena ia mengandung penolakan syirik kepada Allah ‘azza wa jalla serta keharusan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla semata. Oleh sebab itulah ia disebut dengan kalimatul ikhlas. Maksudnya adalah mengikhlaskan/memurnikan tauhid dan memurnikan ibadah serta menjauhi syirik kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Syarah Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 6)
 
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)
 
Menyelami Faidah Kalimatul Ikhlas
 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])
 
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
 
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh manusia tanpa disertai tauhid dan -pelakunya- terjerumus dalam syirik maka tidak ada harganya dan tidak memiliki berat/nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidak disebut sebagai ibadah tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti sedekah, memberikan pinjaman, kedermawanan, suka membantu, suka berbuat baik kepada orang lain; dan lain sebagainya sementara dia kehilangan tauhid, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla, (yang artinya) ‘Kami tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan amal-amal itu laksana debu yang beterbangan.’ (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)
 
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari ketundukan beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan sentuhan api neraka kepada orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Itban radhiyallahu’anhu)
 
Orang yang ikhlas/bertauhid maka akan selamat dari hukuman kekal di neraka, yaitu selama di dalam hatinya masih tersisa iman/tauhid meskipun sekecil biji sawi. Dan apabila keikhlasan itu sempurna di dalam hatinya maka ia akan selamat dari hukuman neraka dan tidak masuk ke dalamnya sama sekali (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17). Orang yang mendapatkan keutamaan ini hanyalah orang yang ikhlas dalam mengucapkan kalimat syahadat. Maka terkecualikan dari keutamaan ini orang-orang munafik, dikarenakan mereka tidak mencari wajah Allah dalam mengucapkannya (lihat at-Tam-hid, hal. 26).
 
Hadits di atas mengandung bantahan bagi Murji’ah yang menganggap laa ilaha illallah sudah cukup meskipun tidak disertai harapan mencari wajah Allah (ikhlas). Demikian pula, hadits ini mengandung bantahan bagi Khawarij dan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka, sementara hadits ini menunjukkan bahwa para pelaku perbuatan yang diharamkan tersebut/dosa besar -dan tidak bertaubat sebelum mati- tidak kekal di dalam neraka, hanya saja pelakunya berhak menerima hukuman sesuai dengan kadar dosanya atau bisa jadi Allah berkenan mengampuni dirinya (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/46])
 
Beruswah Kepada Orang-Orang Yang Ikhlas
 
Siapakah orang-orang yang ikhlas? Tsa’lab berkata, “Yaitu orang-orang yang memurnikan ibadahnya untuk Allah ta’ala, dan mereka itulah orang-orang yang dipilih oleh Allah ‘azza wa jalla. Sehingga orang-orang yang ikhlas itu adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang ikhlas adalah orang-orang yang bertauhid. Adapun yang dimaksud dengan kalimatul ikhlas adalah kalimat tauhid.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 85).
 
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah tatkala Ibrahim membangun pondasi Ka’bah dan juga Isma’il, mereka berdua berdoa; ‘Wahai Rabb kami terimalah amal kami’.” (QS. al-Baqarah: 127).
 
Ketika membaca ayat ini Wuhaib bin al-Ward rahimahullah menangis dan berkata, “Wahai kekasih ar-Rahman! Engkau bersusah payah mendirikan pondasi rumah ar-Rahman, namun engkau tetap khawatir amalmu tidak diterima!” (lihat Tsamarat al-‘Ilmi al-‘Amal karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal. 17)
 
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa suatu ketika dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang-orang yang dimaksud oleh ayat (yang artinya), “Orang-orang yang memberikan apa yang telah berikan, sedangkan hati mereka merasa takut.” (QS. al-Mukminun: 60). Maka Nabi menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang rajin menunaikan sholat, berpuasa, dan bersedekah. Meskipun demikian, mereka merasa takut apabila amal-amal mereka tidak diterima di sisi-Nya.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/110])
 
Allah ta’ala berfirman tentang doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yang artinya), “Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35)
 
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/72])
 
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau terkadang berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang lainnya…” (lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ 1425 H, hal. 6)
 
Ibnu Abi Mulaikah -seorang tabi’in- berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua takut kemunafikan menimpa dirinya. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sejajar dengan keimanan Jibril dan Mika’il.” (lihat Fath al-Bari [1/137])
 
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau mengisahkan: Tatkala turun ayat ini (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengangkat suara kalian lebih tinggi daripada suara Nabi. Dan janganlah kalian mengeraskan suara kalian di hadapannya sebagaimana kalian ketika kalian berbicara satu dengan yang lain, karena hal itu akan membuat amal kalian menjadi terhapus dalam keadaan kalian tidak menyadari.” (QS. al-Hujurat: 2). Maka Tsabit bin Qais pun hanya duduk di rumahnya dan berkata, “Aku termasuk penghuni neraka.” Dan dia pun menutup diri tidak mau berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Wahai Abu ‘Amr, ada apa dengan Tsabit? Apakah dia sedang sakit?”. Sa’ad menjawab, “Sesungguhnya dia adalah tetanggaku. Dan sepengetahuanku dia tidak sakit.” Anas berkata: Maka Sa’ad bin Mu’adz pun mendatanginya lalu menceritakan kepadanya perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Tsabit pun menjawab, “Telah turun ayat ini. Dan kalian mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling tinggi suaranya dibandingkan kalian di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau begitu aku termasuk penghuni neraka.” Kemudian, Sa’ad menceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bahkan dia termasuk penghuni surga.” (HR. Muslim)
 
al-Mu’alla bin Ziyad berkata: Aku mendengar al-Hasan bersumpah di dalam masjid ini, “Demi Allah, yang tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia. Tidaklah berlalu dan hidup seorang mukmin melainkan dia pasti merasa takut dari kemunafikan. Dan tidaklah berlalu dan hidup seorang munafik melainkan dia pasti merasa aman dari kemunafikan.” Beliau (Hasan al-Bashri) berkata, “Barangsiapa yang tidak khawatir dirinya tertimpa kemunafikan maka justru dialah orang munafik.” (lihat Fath al-Bari [1/137])
 
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat orang yang riya’ hendaklah dia melihatku.” (lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/132])
 
Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Aku mencintai orang-orang salih sementara aku bukanlah termasuk diantara mereka. Dan aku membenci orang-orang jahat sementara aku lebih jelek daripada mereka.” (lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/133])
 
Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku tidak sanggup untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat menimba ilmu hadits ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)
 
Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa-dosa itu mengeluarkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk bersamaku.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 82)
 
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku sangat ingin orang-orang mengetahui ilmu ini dalam keadaan tidak disandarkan kepadaku satu huruf pun darinya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Ibnu Sirin adalah orang yang suka berbincang-bincang di siang hari dan juga tertawa. Tatkala malam tiba seolah-olah dia telah membunuh seluruh penduduk kota.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 248)
 
Mu’awiyah bin Qurrah rahimahullah berkata, “Siapakah yang mau menunjukkan kepadaku orang yang suka menangis di malam hari dan murah senyum di siang hari?” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 251)
Abul Aliyah berkata: Para Sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku, “Janganlah kamu beramal untuk selain Allah. Karena hal itu akan membuat Allah menyandarkan hatimu kepada orang yang menjadi motivasi kamu untuk beramal.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 568)
Ibnu Sa’ad menceritakan di dalam kitabnya ath-Thabaqat, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz rahimahullah apabila berkhutbah di atas mimbar kemudian dia khawatir muncul perasaan ujub di dalam hatinya, dia pun menghentikan khutbahnya. Demikian juga apabila dia menulis tulisan dan takut dirinya terjangkit ujub maka dia pun menyobek-nyobeknya, lalu dia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keburukan hawa nafsuku.” (dikutip dari al-Fawa’id, hal. 146)
 
Dikisahkan, bahwa Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Apabila diceritakan tentang orang-orang salih, aku merasa bukan termasuk golongan mereka.” Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata ketika berdoa di Arafah, “Ya Allah, janganlah Engkau tolak doa orang-orang gara-gara diriku.” (lihat al-Ighatsah, hal. 115).
 
Suatu saat ada seorang lelaki berkata kepada Malik bin Dinar, “Wahai orang yang riya’!”. Beliau menjawab, “Sejak kapan kamu mengenal namaku? Tidak ada yang mengenal namaku selain kamu.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 93)
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu termasuk dalam perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat Iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan kandungan ayat Iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat Iyyaka na’budu maka dia terbebas dari riya’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nasta’in maka dia akan terbebas dari ujub. Di dalam sebuah hadits yang terkenal disebutkan, “Ada tiga perkara yang membinasakan; sikap pelit yang ditaati, hawa nafsu yang selalu diperturutkan, dan sikap ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83 cet. al-Maktab al-Islami)
 
Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34).
 
Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71)
 
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
 
Gambaran Hati Yang Ikhlas
 
Sebagian salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih ikhlas.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/53])
 
Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 26).
 
Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Ia adalah hati yang selamat dari segala syahwat/keinginan nafsu yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, serta terbebas dari segala syubhat/kerancuan yang menyelisihi berita yang dikabarkan-Nya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)
 
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Hati yang selamat itu adalah hati yang selamat dari syirik dan keragu-raguan serta terbebas dari kecintaan kepada keburukan/dosa atau perilaku terus menerus berkubang dalam bid’ah dan dosa-dosa. Karena hati itu bersih dari apa-apa yang disebutkan tadi, konsekuensinya adalah ia menjadi hati yang diwarnai dengan lawan-lawannya yaitu; keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan serta dihiasinya -tampak indah- kebaikan di dalam hatinya. Sehingga keinginan dan rasa cintanya senantiasa mengikuti kecintaan Allah, dan hawa nafsunya tunduk patuh mengikuti apa yang datang dari Allah.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [2/812])
 
Ibnul Qayyim rahimahullah juga mensifatkan pemilik hati yang selamat itu dengan ucapannya, “…Ia akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya dalam kondisi apapun serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala macam cara…”. Kemudian, beliau juga mengatakan, “… amalnya ikhlas karena Allah. Apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya juga karena Allah. Apabila dia memberi maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila dia tidak memberi juga karena Allah…” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)
 
Orang yang ikhlas akan merasa ringan dalam melakukan berbagai ketaatan -yang pada umumnya terasa memberatkan-, karena orang yang ikhlas senantiasa menyimpan harapan pahala dari Allah. Demikian pula, ia akan merasa ringan dalam meninggalkan maksiat, karena rasa takut akan hukuman Rabbnya yang tertanam kuat di dalam hatinya (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)
 
Orang yang ikhlas dalam beramal akan bisa mengubah amalannya yang tampak sedikit menjadi banyak pahalanya, sehingga ucapan dan amalannya akan membuahkan pahala yang berlipat ganda (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 19). Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niat.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
 
Merenda Hakikat Ikhlas
 
Imam al-Munawi rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah membersihkan hati dari berbagai kotoran yang merusak kejernihannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 85).
 
al-Jurjani rahimahullah berkata, “Ikhlas yaitu kamu tidak ingin mencari saksi atas amalmu kepada selain Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86).
 
Abu Utsman al-Maghribi rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan pandangan Allah. Barangsiapa yang menampilkan dirinya berhias dengan sesuatu yang tidak dimilikinya niscaya akan jatuh kedudukannya di mata Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86)
 
as-Susi berkata, “Ikhlas itu adalah dengan tidak memandang diri telah ikhlas. Karena barangsiapa yang mempersaksikan kepada orang lain bahwa dirinya benar-benar ikhlas itu artinya keikhlasannya belum sempurna.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86)
 
Sufyan bin Uyainah berkata: Abu Hazim rahimahullah berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231)
 
Ibrahim at-Taimi adalah seorang ulama yang suka mengenakan pakaian ala anak muda. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kalau beliau ulama kecuali sahabat-sahabat dekatnya. Beliau pernah berkata, “Orang yang ikhlas adalah yang berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia suka menyembunyikan kejelekan-kejelakannya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252)
 
Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang, yang mana seorang lelaki di antara mereka kepalanya berada satu bantal dengan kepala istrinya dan basahlah apa yang berada di bawah pipinya karena tangisannya akan tetapi istrinya tidak menyadari hal itu. Dan sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang yang salah seorang di antara mereka berdiri di shaf [sholat] hingga air matanya mengaliri pipinya sedangkan orang di sampingnya tidak mengetahui.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 249)
 
Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Kalau ada dua orang yang berteman di perjalanan, kemudian salah satunya ingin menunaikan sholat [sunnah] dua rakaat, lalu dia meninggalkannya karena temannya [bukan karena Allah, pent] maka itu adalah riya’, demikian juga apabila mereka berdua mengerjakannya karena temannya maka itu adalah syirik.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 570)

Sumber : www.al-mubarok.com

About Abu Azka Al Ghuraba

Organic Theme. We published High quality Blogger Templates with Awesome Design for blogspot lovers.The very first Blogger Templates Company where you will find Responsive Design Templates.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Maktabah Abu Azka

Designed by Templatezy