Makna Tashbih
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.
Hampir bisa dikatakan setiap muslim pasti pernah mendengar apa yang namanya bertashbih. Baik ia orang yang sudah tua ataupun anak kecil sekalipun mungkin pernah mendengarnya. Oleh karena itulah mari kita sejenak meluangkan waktu untuk mencari tahu apakah makna tashbih sehingga ibadah kita lebih berkualitas di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.
Tashbih berarti tanzih/menyucikan, yang mana makna asal katanya adalah menjauhkan sesuatu. Sehingga makna tashbih adalah menjauhkan seluruh shifat yang naqis/bernilai kurang dari Allah dan menyucikannya dari keburukan yang tidaklah layak Allah dishifati dengannya.
Terdapat banyak riwayat tentang makna tashbih dengan pengertian yang demikian diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam mustadroknya,
Diriwayatan dari Tholhah bin ‘Ubaid rodhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، عَنْ تَفْسِيْرِ سُبْحَانَ اللهِ قَالَ : « هُوَ تَنْزِيْهُ اللهِ عَنْ كُلِّ سُوْءٍ
“Aku bertanya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam tentang tafsir subhanaallah maka beliau menjawab, “Tafsir Subhanaallah adalah menyucikan Allah dari segala keburukan”.
Setelah membawakan hadits ini Al Hakim mengatakan, “Sanadnya shohih namun Bukhori dan Muslim tidak mengeluarkannya dalam kitab shohih keduanya”. Namun pernyataan Al Hakim ini dikomentari Adz Dzahabiy, “Bahkan (yang benar) hadits tersebut tidak shohih karena Tholhah adalah seorang munkarul hadits, hal ini sebagaimana dikatakan Bukhori ”
Diriwayatkan juga tafsir Subhanallah dengan makna di atas dari banyak kalangan salaf rohimahumullah[1]. Diantaranya atsar yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma, Beliau mengatakan, “Subhanallah adalah menyucikan Allah ‘Azza wa Jalla dari segala keburukan”.
Demikian juga dari Abdullah bin Buraidah, Beliau mengatakan, “Sesungguhnya ada seseorang yang bertanya kepada ‘Ali rodhiyallahu ‘anhu tentang tafsir Subhanallah kemudian Beliau menjawab, “Engkau mengagungkan keagungan Allah”.
Demikian juga diriwayatkan dari Mujahid rohimahullah, bahwa ia mengatakan, “Mencukupan Allah dari segala keburukan”. Ibnu Atsir rohimahullah mengatakan dalam kitabnya An Nihyah yang beliau maksudkan adalah menyucikan Allah (dari segala keburukan).
Demikian juga dari Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna, Beliau mengatakan, “Makna Subhanallah adalah menyucikan Allah dari segala keburukan dan menjadikan Allah terbebas dari semua keburukan tersebut”.
Demikianlah terdapat banyak atsar tentang makna Subhanallah dengan makna di atas. Sehingga dinukil dari Al Azhari dalam kitabnya Tahzibul Lughoh dari banyak imam dalam masalah bahasa tentang tafsir Subahanallah dengan makna di atas, kemudian ia mengatakan, “Makna (Subhanallah) berporos pada makna penjauhan Allah Tabaroka wa Ta’ala dari adanya keserupaan, kesemisalan dan serikat serta tandingan”[2].
Dari berbagai uraian makna di atas jelaslah bagi kita bahwa makna dan apa yang diinginkan dari Subhanallah adalah menyucikan Allah ‘Azza wa Jalla dari segala kekurangan dan aib. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Perintah untuk mentashbihkan Allah memiliki konsekwensi menyucikan Allah dari segala aib dan kekurangan serta menetapkan shifat-shifat keterpujian yang Allah dipuji dengannya. Sehingga konsekwensinya adalah memuji, membesarkan dan mentauhidkan Allah”[3].
Akan tetapi menyucikan Allah bukanlah sembarang menyucikan, namun harus sesuai dengan kaidah syar’iyah yang sesuai dengan dalil-dalil naqli dan tidaklah dibenarkan penyucian tersebut dibangun di atas akal, persangkaan yang rusak semata sebagaimana yang dilakukan para ahli ta’thil kulli dan ba’di –mudah-mudahan Allah jauhkan kita semua dari hal yang demikian-[4].
Namun pembaca sekalian yang semoga Allah memuliakan kita semua, ketahuilah tulisan ini hanya merupakan rangsangan kepada kita agar lebih giat mempelajari Asma’ dan Shifat Allah. Sehingga apabila para pembaca ingin mempelajarinya kami anjurkan untuk membaca kitab Al Qowaidul Mutsla oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rohimahullah.
Mudah-Mudahan kita bisa mengambil faidah dari nukilan di atas.
[1] Lihat Ad Du’a oleh Ath Thobrooni 1591/III dan yang setelahnya.
[2] Lihat Tahzibul Lughoh hal. 339/IV.
[3] Lihat Daqoiqut Tafsir oleh Ibnu Taimiyah rohimahullah hal. 59/V.
[4] Tulisan ini disarikan dari kitab Fiqh Al Ad’iyah wal Adzkar oleh Syaikh Prof. DR. Abdurrozaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullah hal. 195-199/I, Terbitan Kunuz Syibiliya, Riyadh.
Sumber : www.alhijroh.com
0 komentar:
Posting Komentar