Kamis, 16 Juni 2016

Waktu-Waktu Terlarang Mengerjakan Sholat

Posted By: Abu Azka Al Ghuraba - 00.33

Share

& Comment

Waktu-Waktu Terlarang Mengerjakan Sholat
 
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya  hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.
 
Alhamdulillah telah berlalu pembahasan waktu-waktu sholat maka kita lanjutkan pembahasan kita kali ini dengan tema waktu-waktu terlarang mengerjakan sholat.
 
[1.] Setelah sholat subuh hingga matahari agak meninggi
 
Dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ 
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melarang mengerjakan sholat setelah sholat subuh hingga matahari meninggi dan bercahaya dan setelah sholat ‘ashar hingga matahari tenggelam”[1].
Dalil lainnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melalui jalan Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallahu ‘anhu,
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ 
“Tidak ada sholat setelah sholat subuh hingga matahari meninggi dan bercahaya dan tidak ada sholat setelah sholat ‘ashar hingga matahari tenggelam”[2].
[2.] Setelah sholat ‘ashar hingga matahari tenggelam
 
Dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang telah berlalu.
 
[3.] Ketika matahari berada di tengah-tengah langit hingga tergelincir ke arah tenggelamnya
 
Dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani rodhiyallahu ‘anhu,
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ 
“Ada tiga waktu yang Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melarang kami sholat pada waktu tersebut dan memakamkan orang yang wafat diantara kami yaitu, ketika matahari terbit dengan terangnya hingga posisi matahari agak meninggi, ketika matahari berada di tengah-tengah langit hingga matahari tergelincir  dan ketiga matahari tergelincir ke arah tenggelamnya hingga tenggelam”[3].
Sebab terlarangnya sholat di waktu-waktu tersebut
 
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam telah menjelaskan alasan mengapa kita dilarang melaksanakan sholat pada waktu tersebut dengan sabda beliau kepada ‘Amr bin ‘Abasah rodhiyallahu ‘anhu tentang sholat,
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَىْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّىَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ 
“Sholat subuhlah kemudian tahanlah (janganlah sholat lagi) ketika matahari terbit hingga meninggi karena sesungguhnya ketika itu matahari terbit diantara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir bersujud. Setelah itu sholatlah karena (waktu) sholat telah tiba hingga panjang bayangan sesuatu kurang dari 1 tombak kemudian tahanlah (janganlah sholat lagi) karena ketika itu Api Jahannam dinyalakan. Jika letak bayangan telah berbalik (ke arah tenggelamnya) maka sholatlah karena waktu sholat telah tiba hingga ‘ashar. Kemudian tahanlah (janganlah sholat lagi) hingga matahari tenggelam karena pada saar itu matahari tengah tenggelam diantara dua tanduk setan dan orang-orang kafirpun bersujud”[4].
Hal-hal yang dikecualikan dari larangan
 
1. Ketika matahari berada di tengah-tengah pada hari Jum’at.
 
Ketika matahari berada di tengah-tengah pada hari Jum’at dianjurkan mengerjakan sholat sunnah mutlak sebelum dilaksanakan rangkaian ibadah Sholat Jum’at (ketika imam naik mimbar). Ketika imam telah naik mimbar maka terlarang mengerjakannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda,
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى 
“Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, bersuci sesuai yang dia mampu lakukan, memakai wangi-wangian dari rumahnya kemudian ia keluar untuk sholat Jum’at kemudian ia tidak (melalui dari dua orang yang duduk berdekatan) sehingga memisahkannya kemudian ia sholat (sunnah mutlak sebatas waktu yang ia bisa kerjakan) kemudian ia diam ketika imam sedang menyampaikan khutbah melainkan akan diampuni dosa-dosanya (dosa kecil) diantara jum’at tersebut dengan Jum’at sebelumnya ”[5].
2. Sholat dua roka’at thowaf di Baitul Harom.
 
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melalui Jabin bin Muth’im rodhiyallahu ‘anhu,
يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ 
“Wahai Bani Abdul Manaf, tidaklah kalian dilarang mengerjakan thowaf di tempat ini (Baitul Harom) dan sholat di waktu apapun yang ia inginkan baik ketika malam ataupun siang”[6].
Hal ini juga berdasarkan perbuatan para sahabat semisal Abdullah bin ‘Abbas, Al Hasan dan Husain serta sebagian sahabat lainnya rodhiyallahu ‘anhum.
 
3. Mengerjakan/mengganti sholat fardhu yang tertinggal
 
Yang dimaksud mengganti sholat fardhu yang tertinggal di sini adalah sholat fardhu yang tertinggal karena sebab syar’i semisal tertidur, pingsan dan yang semisal. Bukanlah yang kami maksudkan di sini sholat fardhu yang tertinggal karena kecerobohan dan sengaja di ulur-ulur pengerjaannya. Allahu a’lam.
 
Dalil yang menunjukkan bolehnya mengerjakan sholat fardhu yang tertinggal di waktu terlarang adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا حَتَّى ذَهَبَ وَقْتُهَا وَعَلَيْهِ قَضَاؤُهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ 
“Barangsiapa yang tertidur (sehingga tidak mengerjakan sholat) atau lupa mengerjakannya hingga hilanglah waktu mengerjakannya. Maka wajib baginya menggantinya jika ia telah mengingatnya dan tidak ada kafaroh baginya kecuali hal itu”[7].
4. Mengerjakan/mengganti sholat sunnah rowatib yang tertinggal
 
Diperbolehkan mengqodo/mengganti sholat sunnah rowatib di waktu-waktu terlarang. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berikut,
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا حَتَّى ذَهَبَ وَقْتُهَا وَعَلَيْهِ قَضَاؤُهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ 
“Barangsiapa yang tertidur (sehingga tidak mengerjakan sholat) atau lupa mengerjakannya hingga hilanglah waktu mengerjakannya. Maka wajib baginya menggantinya jika ia telah mengingatnya dan tidak ada kafaroh baginya kecuali hal itu”[8].
Sisi penetapannya adalah keumuman hadits[9] di atas (مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ).
Dalil lainnya adalah sunnah taqririyah (persetujuan Nabi atas perbuatan sahabat) Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
 
رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا أُصَلِّى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ فَقَالَ :« مَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ يَا قَيْسُ؟ ». فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ ، فَهُمَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ ، فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
 
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam menatap sedangkan aku (Qois) sedang mengerjakan sholat sunnah subuh 2 roka’at setelah sholat subuh. Kemudian Beliau bertanya, “Sholat dua roka’at apa yang engkau kerjakan wahai Qois?” Akupun menjawab,“Wahai Rosulullah Aku belum sholat melaksanakan sholat dua roka’at sunnah subuh (di waktu sebelum subuh), sholat itulah yang aku kerjakan tadi”. Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam pun diam[10].
 
5. Mengerjakan sholat jenazah pada waktu setelah subuh dan ‘ashar
 
Hal ini merupakan ijma’/kesepakatan ulama’, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni[11].
 
6. Mengerjakan sholat sunnah yang memiliki sebab
 
Diperbolehkan mengerjakan sholat yang memiliki sebab pada waktu terlarang semisal sholat tahiyatul mesjid, sunnah wudhu, sholat kusuf (gerhana) dan yang semisal dengan dalil sebagai berikut.
 
a. Bolehnya sholat dua roka’at thowaf dalam setiap waktu, sebagaimana telah disebutkan haditsnya.
 
b. Bolehnya melaksanakan sholat sunnah setelah berwudu, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Bilal ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam bertanya padanya tentang amalan apa yang paling ia harapkan pahalanya dalam islam yang membuat jejak sendalnya sudah terdengar di surga. Lalu Bilal menjawab,
مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِى أَنِّى لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِى سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِى أَنْ أُصَلِّىَ 
“Tidaklah aku melaksanakan suatu amalan yang aku paling harapkan balasannya nanti di akhirat kecuali setiap kali aku bersuci/wudhu pada waktu malam ataupun siang melainkan aku melakukan sholat (yang disebabkan aku bersuci)”[12].
c. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pada saat gerhana,
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ 
“Jika kalian melihatnya (gerhana) maka bersegelah melaksanakan sholat (kusuf)”[13].
d. Sabda Beliau shallallahu ‘alaihi was sallam tentang sholat tahiyatul mesjid,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّىَ رَكْعَتَيْنِ 
“Jika salah seorang dari kalian masuk ke mesjid maka janganlah ia duduk hingga ia sholat terlebih dahulu sholat dua rokaat”[14].
Sisi pendalilannya adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam tidak mengaitkan waktu untuk mengerjakan sholat-sholat di atas melainkan mengaitkannya dengan sebab. Allahu a’lam.



[1] HR. Bukhori no. 581, Muslim no. 826.
[2] HR. Bukhori no. 586, Muslim no. 827.
[3] HR. Muslim no. 831.
[4] HR. Muslim no. 832.
[5] HR. Bukhori no. 883.
[6] HR. Tirmidzi no. 896, An Nasa’i no. 284/I, Ibnu Majah no. 1254. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani
[7] HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 214-216.
[8] Telah berlalu takhrijnya.
[9] Berdasarkan Kaidah Fiqhiyah “An Nakirotu fi Siyaaqi Syarthi Yufidul Umum” (Isim Nakiroh dalam konteks syarat menunjukkan keumuman).
[10] HR.  Abu Dawud no. 1267, Tirmidzi no. 322, Ahmad no. 447/V, Al Baihaqi no. 483/II. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk sunan Abu Dawud.
[11] Hal. 82/II.
[12] HR. Bukhori no. 1149, Muslim no.  2458.
[13] HR. Bukhori no. 1060, Muslim no.  904.
[14] HR. Bukhori no. 444 Muslim no.  714.

Sumber : www.alhijroh.com

About Abu Azka Al Ghuraba

Organic Theme. We published High quality Blogger Templates with Awesome Design for blogspot lovers.The very first Blogger Templates Company where you will find Responsive Design Templates.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Maktabah Abu Azka

Designed by Templatezy