Tafsir Surat Al Lahab
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (1). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (2). Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (3). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (4). Yang di lehernya ada tali dari sabut (5)”. (QS. Al Lahab [111] : 1-5).
Surat yang mulia ini memiliki sebab turunnya ayat, yang dikenal dalam istilah sababun nuzul[1].
Hal ini terdapat dalam kitab Shohih Bukhori sebagaimana yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas Rodhiyallahu ‘anhuma,
قال : لَمَّا نزَلتْ : { وأنْذِرْ عشِيرتَكَ الأَقْرَبِينَ } صَعِدَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم عَلَى الصَّفا ، فَجَعَلَ يُنَادِي : يَا بَنِي فِهْرٍ ، يَا بَنِي عَدِيّ حَتَّى اجْتَمَعُوا. فَجَعَلَ الرجلُ إِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَن يَخْرُجَ أُرْسِلَ رَسُوْلَا ، ليَنْظرَ مَا هُوَ ؟ فَجَاءَ أَبُوْ لَهَبٍ وَقُريشٌ ، فَقَالَ : أَرَأَيْتَكُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ خَيْلَا بِالْوَادِيِ ، تُرِيْدُ أَنْ تُغِيْرَ عَلَيْكُمْ ، أَكُنْتمْ مُصدِّقيَّ ؟ قَالُوا : نَعَمْ ، مَا جَرَّبْنَا عَلَيْكَ إِلَّا صِدْقًا ، قَالَ : فإِنِّي نَذِيْرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابِ شَدِيدٍ! فَقَالَ أَبُوْ لَهَبٍ : تَبَّا لَكَ سَائِرَ اليَوْمِ ، أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا ؟ فَنَزَلَتْ { تَبَّتْ يدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ ، مَا أَغْنَي عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ }.
‘Abdullah bin ‘Abbas Rodhiyallahu ‘anhuma mengatakan, ‘Ketika turun ayatوأنْذِرْ عشِيرتَكَ الأَقْرَبِينَ
‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat’. (QS. Asy Syu’aro’ [26] : 214).
Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mendaki Bukit Shofaa, lalu beliau menyerukan panggilan/pengumuman, “Wahai Bani Fahr, wahai Bani ‘Adii” hingga mereka berkumpul sampai-sampai seseorang yang tidak dapat hadir akan mengutus seorang utusan untuk mengetahui apa yang diumumkan. Maka Abu Lahab dan seorang Quroisy pun datang. Lalu Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Seandainya aku mengatakan ada sekelompok pasukan berkuda di sebuah lembah yang akan menyerang kalian. Apakah kalian akan mempercayai ucapanku ?” Lalu mereka menjawab, ‘Tentu kami percaya, karena tidaklah keluar dari lisanmu melainkan sebuah kejujuran’. Kemudian Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian sebelum Allah menimpakan adzab yang amat pedih”. Lalu Abu Lahab menjawab, ‘Sungguh celaka dirimu, apakah hanya untuk mendengarkan ini engkau mengumpulkan kami ?’ maka turunlah ayat,تَبَّتْ يدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ ، مَا أَغْنَي عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (1). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (2).” (QS. Al Lahab [111] : 1-2)[2].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan[3],
“Paman-paman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam terbagi tiga kelompok jika ditinjau dari cara mu’amalahnya kepada Beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam :
[Pertama]
Paman Beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang beriman, berjihad bersama beliau dan masuk Islam. Mereka adalah Al ‘Abbas bin ‘Abdul Mutholib dan Hamzah bin ‘Abdul Mutholib Rohimahumallah. Paman beliau yang kedualah yang lebih utama jika dibandingkan yang pertama karena termasuk syahid di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan beliau gelar ‘Asadullah (singa Allah) dan ‘Asadurosulullah (singa Rosulullah)[4].
[Kedua]
Paman Beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang mendukung dan membela Beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam walaupun masih tetap dalam kekafiran. Paman beliau tersebut adalah Abu Tholib. Abu Tholib membela dan mendukung dakwah Beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam namun sangat disayangkan –wal iyyadzu billah- telah ditetapkan baginya adzab. Beliau tidak masuk Islam hingga wafatnya. Ketika menjelang wafatnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mengajak beliau masuk Islam. Namun dia tetap kekeh dengan agama ‘Abdul Muthollib”.
Sebagaimana diriwayatkan dari Sa’id bin Al Musayyib dari bapaknya,
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، فَقَالَ : أَيْ عَمِّ قُلْ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ، فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ : أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ : عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى : مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي أَبِي طَالِبٍ ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Ketika Abu Tholib menghadapi sakarat maut, Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam datang menemuinya. Ketika itu Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mendapati bahwa di samping Abu Tholib ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Ummayyah bin Al Mughiroh. Kemudian Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Wahai pamanku ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah, kalimat yang akan aku jadikan hujjah bagimu di sisi Allah”. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umay (kepada Abu Tholib) mengatakan, ‘Apakah engkau membenci agamanya ‘Abdul Muthollib ?’ Maka tidak henti-hentinya Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam memalingkan darinya namun keduanya tetap mengulangi kalimat tersebut. Hingga akhirnya Abu Tholib mengucapkan ucapan terakhirnya dengan apa yang mereka berdua inginkan (di atas agamanya ‘Abdul Mutholib) dan enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Demi Allah aku akan memohonkan ampunan bagimu. Kemudian turunlah firman Allah Subhana wa Ta’ala,مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
“Tidaklah pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik”. (QS. At Taubah [9] : 113).Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Tholib, Allah berfirman kepada Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau wahai Muhammad tidak akan mampu memberikan hidayah taufik kepada orang-orang yang engkau cintai melainkan Allahlah yang memberikan hidayah bagi yang dia kehendaki”. (QS. Al Qoshosh [28] : 56)[5].
[Ketiga]
“Paman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang enggan menerima risalah beliau dan tetap dalam kekafiran. Dia adalah Abu Lahab, Allah Subhana wa Ta’ala menurunkan sebuah surat yang sempurna, yang dibaca dalam sholat wajib maupun sunnah, dalam sholat sirr dan jahr, orang yang membacanya akan mendapatkan pahala dan 1 huruf yang dibaca mendapat ganjaran 10 kebaikan”.
Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan,
“Potongan ayat yang pertama merupakan do’a untuk Abu Lahab dan potongan ayat kedua merupakan kabar/berita bahwa demikianlah keadaan Abu Lahab. Namanya adalah ‘Abdul ‘Uzza bin ‘Abdil Mutholib. Kunyahnya Abu ‘Uttaybah, disebut dengan Abu Lahab karena wajahnya yang merah”[6].
Lebih lanjut, gelar Abu Lahab merupakan gelar yang pas untuknya. Sisi pasnya adalah karena ia akan dimasukkan ke neraka yang menyala-nyala yang memiliki lidah api yang dahsyat[7].
Firman Allah Ta’ala (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”. (تَبَّتْ) maksudnya adalah kebinasaan dan kerugian besar, sesatlah perbuatannya dan apa yang ia kerjakan. Sedangkan (وَتَبَّ) maksudnya sungguh telah merugi/binasa dan kebinasaannya serta kehancurannya benar-benar akan terjadi. Allah ‘Azza wa Jalla memulai firmanNya dengan menyebutkan (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab” sebelum menyebutkan diri Abu Lahab karena tanganlah yang digunakan untuk berbuat, bekerja, mengambil sesuatu dan memberinya[8].
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan,
“Firman Allah Ta’ala, (مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ) “Tidaklah berfaedah/bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”. Huruf (مَا) dalam ayat ini adalah adalah huruf (مَا) istifhamiyah/pertanyaan sehingga maknanya ‘apakah ada manfaat harta dan apa yang ia usahakan ?’ maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Huruf (مَا) juga dapat bermakna nafiyah/penolakan. Sehingga maknanya tidak bermanfaat baginya harta dan apa yang ia usahakan. Kedua makna ini saling berkaitan, harta yang dimiliki dan apa yang ia usahakan tidak bermanfaat sedikitpun baginya padahal menurut kebiasaan bahwa harta dan apa yang ia usahakan memberikan manfaat bagi pemiliknya. Walaupun demikian apa yang ia miliki tidaklah dapat menyelamatkannya dari siksa neraka. Sebagian ulama menafsirkan (مَا كَسَبَ) “apa yang dia usahakan” dengan anak. Sehingga maknanya “tidaklah bermanfaat baginya harta dan anaknya”. Penafsiran (مَا كَسَبَ) dengan anak adalah sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا
“Mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka”. (QS. Nuh [71] : 21)
Dan sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
“Sesungguhnya sebaik-baik makanan yang kalian makan adalah makan dari hasil yang kalian usahakan. Sesungguhnya anak-anak merupakan bagian dari yang kalian usahan”[9].
“Yang lebih tepat bahwa ayat menunjukkan keumuman sehingga termasuk di dalamnya anak, harta yang diusahakan, kemuliaan dan kedudukan yang berusaha ia raih. Sehingga seluruh yang ia usahakan baik berupa kemuliaan dan kewibawaan maka itu semua tidak bermanfaat sedikitpun untuk menyelamatkannya dari neraka[10].
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah melanjutkan,
Firman Allah Ta’ala (سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) “Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak”. Huruf sin (س) pada kata (سَيَصْلَى) merupakan tanfis yang menunjukkan akan benar-benar terjadi dan dalam waktu yang dekat. Maksudnya Abu Lahab akan benar-benar dimasukkan ke neraka yang bergejolak dalam waktu yang dekat. Karena selama apapun seseorang hidup di dunia jika dibandingkan dengan akhirat maka hal itu akan sangat dekat/singkat[11].
Disebutkan bahwa sebelum meninggalnya Abu Lahab diserang penyakit yang sangat akut. Penyakit tersebut adalah penyakit yang disebut (العُدِسَةُ) sejenis bisul yang melepuh. Pada saat itu orang arab sangat menjauhi orang yang terkena penyakit ini sebagaimana mereka menjauhi orang yang terkena penyakit tho’un/pes. Sehingga ketika dia telah meninggal tidak ada seorangpun yang sanggup memandikannya hingga pada hari ketiga, anaknya mengguyur jasadnya dari kejauhan[12].
“Firman Allah Subhana wa Ta’ala (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) “api yang bergejolak” yaitu api yang bergejolak dan mempunyai jilatan api serta panasnya luar biasa[13].
Firman Allah ‘Azza wa Jalla (وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ) “Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”.
Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan,
“Istri Abu Lahab merupakan salah seorang wanita terpandang di kalangan Quroisy*. Dia adalah Ummu Jamiil namanya Arwaa bintu Harbu bin ‘Ummayyah. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan. Istri Abu Lahab ini termasuk orang yang membantunya dalam kekafiran dan penentangannya kepada risalah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Oleh karena itulah dia kelak akan bersama suaminya di hari qiyamat di dalam adzab neraka jahannam”[14].
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan,
“Firman Allah Ta’ala (حَمَّالَةَ) merupakan bentuk sighoh muballaghoh yang menunjukkan banyak. Disebutkan bahwa ia membawa banyak kayu berduri yang akan diletakkan di jalan yang dilalui Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dengan tujuan untuk mengganggu Rosul Shollallahu ‘alaihi wa Sallam”[15].
Firman Allah Ta’ala (فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ) “Yang di lehernya ada tali dari sabut”.
“Yakni dia pergi ke gurun dengan membawa tali dari sabut untuk membawa kayu-kayu berduri yang akan ia letakkan di jalan yang dilalui Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.[16].
Diriwayatkan dari Ats Tsauriy Rohimahullah, beliau mengatakan (حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ), “Adalah kalung dari api, yang panjangnya 70 hasta”[17].
Jika kita lihat dengan teliti berdasarkan penafsiran di atas terlihat bertapa istri Abu Lahab ini memiliki tekad yang sangat kuat untuk menganggu dakwah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam karena ia rela mengorbankan dirinya dengan segala kehormatan yang dimilikinya[18].
Namun demikian ia tanggalkan semuanya demi mengganggu dakwah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan membantu suaminya.
Ibnu Katsir dan Syaikh As Sa’di Rohimahullah mengungkapkan ungkapan ulama untuk ayat ini.
“Akhirnya, pada surat ini terdapat ayat yang luar biasa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan surat ini pada saat Abu Lahab dan istrinya masih hidup. Allah mengabarkan bahwasanya keduanya pasti akan diadzab di neraka. Konsekwensi dari hal tersebut, keduanya akan meninggal dalam keadaan tidak masuk Islam. Maka terjadilah sebagaimana dikabarkan Dzat Yang Maha Mengetahui Sesuatu Yang Ghaib dan Nyata”[19].
Faidah Surat Al Masad[20]
- Penetapan ketentuan/hukum Allah dengan binasanya Abu Lahab, tidak terlaksananya makarnya yang ia gunakan untuk memperdayai Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.
- Harta dan anak sama sekali tidaklah bermanfaat/mampu menyelamatkan seorang hamba dari adzab Allah jika perbuatannya mencari murka Allah dan jauh dari ridho Allah.
- Haramnya mengganggu seorang mukmin secara mutlak.
- Tidak bermanfaatnya kedekatan seseorang dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam jika perbuatannya adalah kekufuran dan kesyirikan, walaupun ia adalah paman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.
[1] Kaidah tafsir tentang hal ini kami persilakan merujuk ke https://www.alhijroh.com/tafsir/kaidah-kedua/
[2] HR. Bukhori no. 4972 dan Muslim no. 208.
[3] Lihat Tafsir Juzz ‘Amma oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin hal. 348-349 terbitan Dar Tsuroya, Riyadh.
[4] Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Al Bukhori dalam kitab At Tarikh Al Kabir hal. 438/VIII dan Ibnu ‘Ashim dalam Al Jihad no. 249.
[5] HR. Bukhori no. 3772, Muslim no. 24 dan lain-lainnya.
[6] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim hal. 514/VIII terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[7] Lihat Tafsir Juzz ‘Amma hal. 350.
[8] Idem.
[9] HR. Tirmidzi no. 2731, Ibnu Majah no. 2290 dan Ahmad no. 25335. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dan hasan lighoirihi oleh Syu’aib Al Arnauth.
[10] Tafsir Juzz ‘Amma hal. 349-351.
[11] Idem.
[12] Lihat Aitsarut Tafaasir oleh Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairiy hal. 511/V terbitan Maktabah Al ‘Ulum wal Hikaam, Madinah, KSA.
[13] Shohih Tafsir Ibnu Katsir hal. 701/IV.
[14] Idem hal 702/IV.
[15] Tafsir Juzz ‘Amma hal. 351.
[16] Idem.
[17] Shohih Tafsir Ibnu Katsir ha. 702/IV.
[18] Lihat tanda (*) dalam tulisan ini.
[19] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim hal. 514/VIII dan Taisir Karimir Rohman hal. 2000/VII terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh,KSA. (Kutipan di atas merupakan ungkap Syaikh As Sa’di Rohimahullah).
[20] Lihat Aitsarut Tafaasir hal. 511/V.
Sumber : www.alhijroh.com
0 komentar:
Posting Komentar