Hari Ibu ?
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Sebentar lagi tanggal 22 Desember 2015. Ini berarti kita sudah sangat dekat dengan sebuah hari yang ditetapkan sebagai hari ibu di negara kita Indonesia. Beragam cara orang mengekspresikannya. Ekspresi tersebut merupakan refleksi cinta mereka kepada sang ibu. Inilah realitanya.
Lantas bagimana kita selaku ummat Islam menyikapinya ?
Pertama, Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Tidaklah Kami mengutus seorang rosulpun sebelummu (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepada mereka supaya kalian bertanya kepada ahli dzikir (ilmu agama) jika kalian tidak mengetahuinya”. (QS. An Nahl [16] : 43 dan Al Anbiya’ [21] : 7)
Ibnu Katsir rohimahullah mencantumkan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan ahlu dzikir dalam ayat ini adalah para ulama[1].
Kedua, Agama kita ini adalah agama Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu jangan coba-coba cawe-cawe aturan Allah Subhana wa Ta’ala.
Ketiga, Mari simak tanya jawab berikut.
Pertanyaan :
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah pernah ditanya,
“Apa Hukum Perayaan yang Disebut dengan Hari Ibu ?”
Jawaban :
“Sesungguhnya seluruh perayaan yang bertentangan dengan hari-hari perayaan yang syar’i merupakan perbuatan bid’ah yang diada-adakan, tidak dikenal pada masa para shahabat (padahal kalau mau tentu mereka dapat melakukannya –pen). Betapa banyak perayaan yang demikan muncul dari kalangan orang-orang non muslim. Sehingga jadilah perkara ini termasuk perbuatan bid’ah yang menyerupai perbuatan musuh-musuh Allah Subhana wa Ta’ala.
Hari-hari perayaan yang syar’i dan dikenal oleh ummat Islam (hanyalah –pen) ‘Iedul Fithri, ‘Iedul Adha dan hari Jum’at pada setiap pekannya. Tidak ada perayaan selain ketiganya di di dalam Islam”.
“Setiap perayaan yang dimunculkan selain perayaan tersebut maka tertolak dan batil menurut syari’at
Allah Subhana wa Ta’ala berdasarkan sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan sebuah perkara pada urusan kami (agama) yang bukan merupakan bagian darinya (tidak ada tuntunannya -pen) maka perkara tersebut tertolak”[2].
Yaitu tidak diterima di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam lafazh lain,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan sebuah perbuatan yang bukan termasuk perkara kami (agama) maka amalam tersebut tertolak”[3].
Jika hal tersebut telah jelas bagi anda maka sesunggunya tidak boleh merayakan perayaan seperti yang ditanyakan yang disebut dengan hari ibu. Tidak boleh melakukan hal-hal yang biasa dilakukan pada saat perayaan hari besar, misalnya menunjukkan kesengangan riang gembira, rasa bahagia, memberikan hadiyah dan hal-hal yang semisal itu.
Wajib bagi seorang muslim untuk merasa bangga, mulia dengan ketentuan agamanya dan mencukupkan diri dengan apa yang telah ditentukan Allah Ta’ala dan Rosul Nya Shollallahu ‘alaihi wa Sallam pada agama yang lurus ini, agama yang Allah Ta’ala ridhoi untuk seluruh hamba Nya. Sehingga tidak boleh menambahi ataupun menguranginya. Hal yang seyogyanya juga harus dimiliki seorang muslim adalah tidak membunglon, tidak mengikuti semua seruan yang demikian. Bahkan seharusnya seorang muslim memiliki kepribadian yang menyesuaikan dengan syari’at Allah Ta’ala hingga dia menjadi orang yang diikuti bukan orang yang mengikuti (bagian dari agama lain -pen). Hingga dia menjadi teladan dan bukan orang yang meneladani (bagian dari agama lain -pen). Karena syari’at Allah sudah sempurna dari segala sisinya –Alhamdulillah-. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian (Islam), telah kusempurnakan nikmat Ku untuk kalian dan Kuridhoi Islam sebagai agama bagi kalian”. (QS. Al Maidah [5] : 3).
“Seorang ibu merupakan orang yang paling berhak untuk dihormati, diberikan sikap ramah bukan hanya sehari setahun. Bahkan seorang ibu memiliki hak yang harus diperhatikan, dijaga oleh seluruh anaknya. Yaitu melaksanakan keta’atan kepadanya selama bukan perkara yang termasuk maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada setiap waktu dan tempat”.
Diterjemahkan dari kitab Fatawa Arkanil Islam hal. 174 terbitan Dar Tsuroya, Riyadh, KSA.
[1] Lihat Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim hal. 573/IV terbitan Dar Thoyyibah, KSA.
[2] HR. Bukhori no. 2697, Muslim no. 1718.
[3] HR. Muslim no. 1718.
Sumber : www.alhijroh.com
0 komentar:
Posting Komentar