Siapa Shahabat Nabi ?
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Kalau orang non muslim ditanya, ‘Siapa orang yang paling mulia
setelah Nabi kalian ?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Muridnya Nabi’,
‘Shahabat Nabi’. Tentu sebagai seorang muslim tentu kita akan menjawab,
‘Para Shahabat Nabi Rodhiyallahu ‘anhum”. Inilah keyakinan kita
sebagai ummat Islam. Bukan sebagaimana kelakuan orang syi’ah rofidhoh
yang melaknat mayoritas shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Tentulah kayakinan mereka ini amat sangat aneh.
Pada artikel kali ini kita tidak sedang membahas syi’ah dan
kesesatannya. Namun yang akan kita ketengahkan adalah siapa itu para
shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam agar kita lebih mengenal dan mencintai mereka.
Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan,
“Shahabat adalah orang yang melihat
Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam ketika itu dia sudah Islam
walaupun kebersamaannya dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam tidak
lama serta walaupun tidak meriwayatkan sesuatu (satu haditspun) dari
Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.
Inilah pendapat Jumhur Ulama baik masa lalu maupun yang belakangan”[1].
Syaikh ‘Ali Al Halabiy Hafizhahullah mengatakan,
“Ibnul Mulaqqin Rohimahullah mengatakan dalam Al Muqni’
(491/II), “Ibnul Hajib Al Ushuliy (dalam Muntahaal Ushul hal. 81)
menguatkan pengertian ini. Beliau memberikan defenisi (bahwa shahabat
adalah) ‘orang yang Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam melihatnya’ sebagai ganti lafazh ‘orang yang melihat Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam’. Apa yang beliau kuatkan ini merupakan sebuah hal yang bersesuaian dengan defenisi para ulama hadits. Sehingga termasuk dalam pengertian ini shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam ‘Abdullah bin Ummu Maktuum yang buta dan yang lainnya”[2].
Ibnu Hajar Rohimahullah mengatakan,
“Mereka (shahabat Nabi Rodhiyallahu ‘anhum) adalah orang yang bertemu Nabi Shollallahu ‘alaihi wa alaa aalihi wa Sallam dalam keadaan beriman kepada beliau, mati dalam keadaan memeluk Islam walaupun pernah murtad. Inilah pendapat yang paling benar”[3].
Syaikh ‘Ali Al Halabiy Hafizhahullah mengatakan,
“Yang dimaksud dengan bertemu di sini lebih menyeluruh dari pada pernah duduk dalam majelis Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, berjalan dengannya atau salah satu dari keduanya. Walaupun belum pernah berbincang dengan beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam”[4].
“Penyebutan ‘bertemu’ lebih utama daripada pendapat sebagian ulama bahwa shahabat adalah orang yang melihat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam’
karena jika demikian maka ‘Abdullah bin Ummi Maktum dan selainnya yang
buta tidak termasuk shahabat. Padahal mereka adalah shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam tanpa ada keraguan”[5].
“Penyebutan ‘beriman’ merupakan batasan sehingga tidak termasuk shahabat mereka yang bertemu beliau namun dalam keadaan kafir.
Penyebutan ‘kepada beliau’ merupakan batasan kedua sehingga tidak
termasuk orang yang bertemu dengan beliau namun beriman kepada selain
beliau dari kalangan para Nabi”[6].
“Mati dalam keadaan Islam, ini merupakan batasan ketiga yang mengeluarkan orang yang murtad setelah bertemu beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan beriman kemudian mati dalam keadaan murtad semisal ‘Abdullah bin Jahsyin dan Ibnu Khothol”[7].
“Walaupun pernah murtad, maksudnya antara keimanaan di masa bertemu beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan
waktu wafatnya dia kembali dalam keadaan Islam. Maka istilah shahabat
Nabi tetap melekat pada dirinya. Sama saja dia kembali Islam di masa
Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam masih ada ataupun setelah beliau wafat, demikian pula sama saja apakah dia bertemu beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam untuk kedua kalinya atau tidak”[8].
Syaikh DR. Mahmud Thohaan Hafizhahullah mengatakan,
“Para shahabat Rodhiyallahu ‘anhum semuanya ‘udul, sama saja mereka yang pernah menemui masa fitnah ataupun tidak. Ini merupakan ijma’/kesepakatan ulama yang dianggap kapabilitasnya. Adapun makna ‘udulnya mereka adalah terjauhkannya mereka dari perbuatan sengaja berdusta dalam meriwayatkan atau menyimpangkannya dengan melakukan perbuatan yang melahirkan konsekwensi tidak diterimanya periwayatan mereka”[9].
Demikian sedikit perkenalan kita dengan para shahabat Rodhiyallahu ‘anhum.
[1] Lihat Al Baa’itsul Hatsiits oleh Ibnu Katsir hal. 491/II terbitan Maktabah Ma’arif, Riyadh, KSA.
[2] Idem.
[3] Lihat An Nukat hal. 149 oleh Ibnu Hajar hal. 149 terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[4] Idem.
[5] Idem.
[6] Idem.
[7] Idem hal. 150.
[8] Idem.
[9]
Taisir Mushtholahul Hadits oleh Syaikh DR. Mahmud Thohaan hal. 244
terbitan Maktabah Al Ma’arif, Riyadh, KSA tahun 1425 H / 2006 M.
Sumber : www.alhijroh.com
0 komentar:
Posting Komentar