Skala Prioritas Dalam Menuntut Ilmu
Alhamdul illah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Tersebarnya majelis ilmu yang mengajarkan berbagai macam cabang ilmu agama merupakan nikmat dan karunia Allah ‘Azza wa Jalla patut kita syukuri. Namun kita juga tak jarang menemui seorang yang dahulunya rajin menuntut ilmu tetapi sekarang sudah jarang atau bahkan menghilang dari majelis ilmu. Memang banyak sebab akan hal itu, salah satunya mungkin adalah apa yang disampaikan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz As Sadhan hafidzahullah.
“Tidaklah perlu diragukan lagi bahwa adanya semangat menuntut ilmu merupakan suatu perkara yang diharapkan. Namun semangat ini terkadang tertimpa kelemahan dan kekurangan. Bahkan semangat ini dapat saja mati jika orang yang tersebut menempuh jalan yang tidak benar dalam menuntut ilmu. Jika orang tersebut mengetahui jalan yang tepat menujunya dan mengetahui cara bagaimana melewati jalan maka dia akan memanen buah yang amat banyak dari menuntut ilmu. Sebagian penuntut ilmu keliru sehingga dia membebani dirinya sendiri dengan beban yang tidak sanggup dipikulnya. Sehingga dia berupaya untuk mencapai keberhasilan yang besar dalam waktu yang singkat. Nah, apabila tidak tercapai maka hasilnya adalah kebalikannya (yaitu semangatnya menuntut ilmu mati) ketika menempuh jalan menuntut ilmu”[1].
“Para pendahulu kita telah meletakkan rambu-rambu pada awal-awal menuntut ilmu. Siapa yang berjalan mengikuti rambu tersebut maka dia akan berhasil. Sedangkan orang yang terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum waktunya maka dia akan mendapatkan hukuman tercegah dari mendapatkannya[2]. Maka betapa banyak penuntut ilmu yang dulunya terlihat di majelis ilmu bersama penuntut ilmu yang lainnya. Namun hal itu tidak berlangsung lama hingga nampak perubahan lalu putus total tidak pernah kelihatan lagi sama sekali”[3].
Maka benarlah apa yang dikatakan Syaikh di atas. Betapa banyak orang yang dahulu kita lihat sangat semangat menuntut ilmu namun sekarang sudah tidak terlihat lagi. Salah satu sebabnya adalah dia membebani dirinya dengan hal yang dia tidak sanggup. Contohnya adalah ketika masih awal-awal menuntut ilmu sudah masuk ke ranah Jarh wa Ta’dil (ilmu menilai buruk baiknya seseorang). Sehingga dia mengatakan ‘Ustadz Fulan begini dan begitu, Syaikh Fulan begini dan begitu dst….’. Demikian juga sebagian orang yang mulai sadar akan pentingnya Islam tersibukkan membahas realita politik dan fenomenanya. Namun sering waktu dia pun kembali menjadi orang yang tidak kenal ilmu dan menuntut ilmu.
‘Abu Ja’far Rohimahullah mengatakan, “Aku datang menemui Abu Abdullah (yaitu Imam Ahmad –ed) kemudian aku bertanya, ‘Apakah boleh berwudhu dengan air bunga ?’ beliau menjawab, ‘Aku tidak menyukai hal itu’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apakah boleh berwudhu dengan air kacang ?’ beliau menjawab, ‘Aku tidak menyukai hal itu’. Kemudian aku bertanya lagi, Apakah boleh berwudhu dengan air mawar ? beliau menjawab, ‘Aku tidak menyukai hal itu’. Lalu aku pun berdiri (hendak meninggalkan majelis ilmu -ed) kemudian beliau menarik pakaianku dan bertanya, ‘Apa yang engkau ucapkan ketika masuk mesjid ?’ Akupun terdiam. Beliau bertanya lagi, ‘Apa yang engkau ucapkan ketika keluar mesjid ?’ Akupun terdiam. Kemudian beliau mengatakan, ‘Pergi dan pelajarilah dulu itu (baru bertanya seperti pertanyaan tadi -ed)’[4].
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz As Sadhan hafidzahullah mengatakan,
‘Orang ini memulai dengan bertanya tentang suatu permasalahan yang jarang terjadi dan meninggalkan hal-hal yang lebih penting dan utama baginya’[5].
Contoh lainnya,
Ibnu Juraij datang ke majelis ilmunya ‘Atho’ bin As Saaib Rohimahumallah ketika awal-awal menuntut ilmu, di majelis itu ada Abu Umair salah seorang ulama besar. Kemudian dia mengatakan, ‘Apakah kamu telah mampu membaca Al Qur’an ?’ akupun menjawab, ‘Belum’. Beliau mengatakan, ‘Pergilah pelajari itu dulu baru kemudian menuntut ilmu’. Akupun pergi selama beberapa waku hingga aku bisa membaca Al Qur’an dengan benar. Kemudian aku datang lagi ke majelisnya ‘Atho’ dan disana ada ‘Abdullah. Dia bertanya, ‘Apakah kamu telah mempelajari hal-hal yang wajib bagimu ?’ Aku menjawab, ‘Belum’. Beliau mengatakan, ‘Pergi dan pelajarilah itu dulu lalu baru menuntut ilmu’. Kemudian aku datang lagi lalu beliau mengatakan, ‘Sekarang barulah tuntut ilmu’. Akupun senantiasa menghadiri mejelisnya ‘Atho’ selama 17 Tahun[6].
Maka lihatlah saudaraku bagaimana seorang ulama saja memulai menuntut ilmu dari hal-hal yang paling wajib baginya !! Kemudian lihatlah berapa lama beliau mampu senantiasa menyertai gurunya !!!
Contoh lain,
‘Imam Ibnu Wahab datang menemui Imam Malik bin ‘Anas Rohimahummallah kemudian bertanya, ‘Bagaimana menurut pendapat anda tentang menuntut ilmu ?’ Beliau menjawab, ‘Suatu hal yang sangat bagus, namun lihatlah/perhatikanlah hal-hal yang wajib bagi anda mulai subuh hingga sore hari maka carilah itu dahulu’[7].
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz As Sadhan hafidzahullah mengatakan,
“Oleh sebab itulah sebagian penuntut ilmu jika anda tanyakan sebuah perkara dia menganggap hal tersebut merupakan sebuah perkara kecil dan meremehkan pentingnya hal itu. Tidaklah diragukan hal ini merupakan pintu masuk syaithon. Bukankah aib/hal yang tercela bagi penuntut ilmu ketika mereka tidaktahu tentang suatu perkara yang senantiasa mereka bersamanya selama sehari semalam sebanyak lima kali ?![8]
Maka cukuplah hal ini menjadi renungan bagi kita untuk senantiasa memperhatikan dan mempelajari lebih dahulu hal-hal yang paling kita butuhkan bukan hal-hal yang paling kita inginkan.
Allahu a’lam.
[1] Lihat Ma’alim Fii Thoriq Tholab Al Ilmi hal. 69 terbitan Darul ‘Ashimah 1433 H, Riyadh,KSA.
[2] Guru kami Ustadz Aris Munandar hafidzahullah mengatakan, “Ini merupakan kaidah Fiqhiyah dan Kauniyah (realita) Qodariyah”.
[3] Idem.
[4] Idem.
[5] Idem hal. 70.
[6] Idem.
[7] Idem.
[8] Idem hal. 71.
Sumber : www.alhijroh.com
0 komentar:
Posting Komentar